Beranda > Analisis > TERORISME INDONESIA : SEBUAH PERJUANGAN SEMU

TERORISME INDONESIA : SEBUAH PERJUANGAN SEMU

Aksi terorisme di hotel JW Marriott dan hotel Ritz Carlton Jakarta kembali mencoreng muka Indonesia. Pemerintah dan masyarakat Indonesia yang tengah merehabilitasi citra bangsa di ranah internasional harus menelan pil pahit. Imbasnya, setelah berakhirnya Pemilu 2009 Indonesia harus bekerja keras untuk membangun kembali nama baiknya yang jatuh pasca pengeboman dua hotel di wilayah Mega Kuningan Jakarta hari Jumat, 17 Juli 2009.
Berbagai spekulasi muncul untuk menyikapi comebacknya aksi terorisme ini. Termasuk dari Presiden SBY sendiri yang mensinyalir bahwa aksi terorisme yang menelan 9 korban jiwa ini memiliki muatan politis berkenaan dengan kemenangannya di Pilpres 2009. Sedangkan beberapa pengamat menyatakan bahwa aksi ini kemungkinan besar ada kaitannya dengan jaringan teroris yang beraksi di Bali tahun 2002 dan serangkaian aksi teroris di tempat lain pada tahun-tahun selanjutnya.
Momentum anarkis terorisme
Pertanyaan mendasar patut dilontarkan, apakah aksi teroris di hotel JW Marriott dan hotel Ritz Carlton kemarin bermuatan politis atau idiologis? Pertanyaan ini menarik karena aksi terorisme ini mengambil 2 momen penting yakni Pilpres 2009 yang sudah diketahui hasilnya melalui Quick Count dan rencana Manchester United Asia Tour 2009 di Senayan Jakarta pada tanggal 20 Juli 2009. Hotel Ritz Carlton dibom pada Jumat pagi beberapa jam sebelum tim Setan Merah mendarat di Malaysia. Rencananya mereka akan terbang ke Indonesia Jum’at malam kemudian menginap di hotel Ritz Carlton Jakarta.

Pernyataan SBY

Pernyataan SBY

Pernyataan tajam SBY berdasarkan data intelijen bahwa ada rencana kuat untuk mencegah dirinya kembali menduduki kursi RI 1 memberikan dugaan adanya muatan politis di balik aksi teroris ini. Jika benar ada kekuatan politik sebagai dalang terorisme maka berarti Indonesia telah mengalami kemunduran demokratisasi. Muatan politis yang menimbulkan kerusakan menandakan adanya radikalisme politik yang anarkis. Maka bangsa Indonesia patut berhadap agar aksi teror ini bukanlah aksi yang bermuatan politis. Pernyataan SBY tersebut dapat dipahami karena aksi teror dengan motif apapun akan berdampak terhadap aspek politik nasional. SBY yang kemungkinan besar terpilih tentu akan kembali mendapatkan tekanan internasional untuk segera menyelesaikan permasalahan terorisme. Keamanan nasional yang tidak menentu terutama terhadap warga asing tentu akan berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi nasional.
Sebaliknya kedatangan MU ke Indonesia dapat dianggap sebagai simbol dari masuknya sepakbola eropa sebagai salah satu komoditas kapitalisme barat. Jika motif aksi teror mendasarkan diri pada sentimen perang idiologi maka kemungkinan besar aksi teror tersebut bermuatan idiologi khususnya idiologi agama.
Terlepas dari berbagai hipotesis di atas, pengeboman hotel JW Marriott dan hotel Ritz Carlton sebagai kelanjutan dari aksi-aksi sebelumnya menggambarkan semakin kompleksnya motif terorisme Indonesia. Kelompok teroris yang terorganisir semakin cerdik dan mampu mengambil momen penting agar teror mereka dapat membawa dampak yang terburuk bagi sasaran yang dituju. Bahkan mereka mampu menerobos sistem antisipasi keamanan dan melakukan aksi teror di hotel JW Marriott yang sebelumnya pernah dibom pada tahun 2004 silam.
Terorisme idiologis sarat kriminalitas
bom di hotel jw marriottAksi teror yang bermuatan idiologi tentu memiliki target yang lebih luas. Sasaran mereka bukanlah penguasa yang sedang memerintah, tetapi lebih luas lagi menyangkut ekspansi global dari idiologi yang dianggap sebagai idiologi musuh oleh para pelaku teror. Terorisme seperti ini bertujuan untuk memberikan tekanan ekstrim terhadap penganut dan sistem idiologi musuh dengan menciptakan suasana yang mengindikasikan terjadinya perang idiologi pada tataran fisik. Korban warga asing yang berjatuhan dan kerusakan-kerusakan yang terjadi menjadi sinyal penolakan terhadap ekspansi sistem, budaya, pemikiran dan peradaban dari idiologi musuh.
Rangkaian aksi terorisme di Indonesia sejak tahun 2002 di Bali menggambarkan eksistensi terorisme bermotif idiologis. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar aksi teror yang terjadi menggunakan metode bom bunuh diri. Bom bunuh diri menandakan bahwa pelaku teror memiliki indoktrinasi yang kuat dalam dirinya yang menyababkan mereka rela mengorbankan jiwa demi tujuan yang dicanangkan. Indoktrinasi ini sangat kecil kemungkinannya bisa dibangun dengan tujuan atau kepentingan politis. Kepentingan politis yang bersifat duniawi bertujuan mendapatkan manfaat yang tidak bisa dirasakan apabila nyawa telah melayang.
Sasaran-sasaran bom bunuh diri sebagai metode utama teror yang dianggap efektif adalah tempat-tempat yang berkaitan langsung dengan warga asing. Sebagian besar korban adalah warga asing yang kemungkinan besar merupakan sasaran utama teror. Sasaran warga asing bisa jadi dianggap sebagai representasi dari penganut idiologi musuh, bahkan dianggap sebagai duta yang bertugas menyebarluaskan budaya idiologi musuh. Maka wajar kiranya jika teroris menganggap nyawa mereka tidak ada harganya dan menghilangkan rasa kemanusiaan pada diri pelaku teror.
Fakta yang terjadi ternyata korban tidak hanya dari kalangan warga asing, tetapi juga dari warga Indonesia. Bahkan kerusakan yang paling parah baik fisik, ekonomi maupun politis sebagai dampak teror tidak dirasakan oleh negara penganut idiologi musuh, tetapi lebih dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Ini menandakan bahwa motif idiologis yang mendasari aksi terorisme syarat dengan muatan kriminalitas. Tujuan mereka yang dianggap mulia telah menghilangkan rasa kemanusiaan universal dan menyebabkan banyak warga yang tidak bersalah harus kehilangan nyawa, terluka, bahkan cacat. Jatuhnya korban teror yang identik dengan kriminalitas ini tidak akan menyurutkan niat teroris atau menyentuh rasa kemanusiaan mereka agar menghentikan aksinya.
Perjuangan semu terorisme
Tujuan atau alasan apapun yang mendasari terorisme telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan. Maka tidak ada pembenaran bagi pelaku teror baik pembenaran politis maupun idiologis. Jika pelaku teror menganggap aksinya sebagai sebuah perjuangan untuk mencapai tujuan demi kepentingan kelompok tertentu, maka perbuatan mereka adalah kriminalitas belaka. Jika mereka menganggap aksinya sebagai perjuangan untuk mencapai tujuan yang mulia, maka unsur kriminalitas yang terjadi juga tidak dapat dimaafkan dan dibenarkan dari segi apapun.
Setiap peristiwa teror yang terjadi di Indonesia hanya meninggalkan luka kemanusiaan. Masyarakat tidak akan rela mengakomodir aksi-aksi teror sebagai bagian dari perjuangan kelompok tertentu. Bahkan pertanyaan selalu tidak pernah terjawab dengan jelas, siapa dalangnya, apa tujuannya, kalau mereka menganggap ini sebagai medan perang, siapa musuh yang sebenarnya, siapa yang mau dihancurkan? Semuanya semu, tidak jelas. Meskipun POLRI dalam beberapa kasus telah berhasil menangkap mereka yang terbukti secara hukum sebagai pelaku dan mengetahui motifnya, tetapi dapatkah mewakili seluruh rangkaian aksi teror yang telah terjadi.
Sentimen apapun yang dibawa oleh terorisme terbukti tidak membawa dampak positif sedikitpun, yang terjadi adalah bangsa ini semakin terpuruk. Dampak nagatif yang ditimbulkan bagi bangsa ini sangatlah besar. Permasalah terorisme menjadi PR berat pemerintah dan aparat keamanan dan menjadi batu sandungan bagi usaha pencapaian Indonesia yang maju dan demokratis. Para teroris telah salah menilai diri mereka sendiri dan telah kehilangan kemanusiaan, nasionalisme, dan bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang jauh dalam mengimplementasikan idiologi yang diyakini. Bahkan mereka tidak berani menyatakan diri sebagai yang bertanggungjawab. Mereka beraksi, lalu menghilang, kemudian menunggu momen-momen aksi yang dapat membawa keburukan yang terbesar, bahkan patut dipertanyakan apakah pelaku bom bunuh diri memahami tujuan aksinya atau hanya diperalat saja setelah diindoktrinasi?
Waspadai rekruitmen teroris
Idiologi yang mendasari aksi terorisme dan sekelompok kecil yang terorganisir, menjadikan aksi ini sulit untuk dibasmi. Pelaku memiliki organisasi dan metode yang efektif untuk melanggengkan aksinya. Termasuk di antaranya adalah metode untuk rekruitmen anggota atau relawan. Proses rekruitmen yang tersembunyi dan laten inilah yang patut diwaspadai oleh masyarakat. Teroris memiliki metode indoktrinasi yang dapat mempengaruhi seseorang agar mau bergabung dengan mereka.
Metode indoktrinasi dan rekruitmen yang bersifat personal individual akan sangat efektif dan sulit dideteksi karena tidak menarik perhatian. Apalagi teroris selalu berpindah tempat dan menggalang kekuatan anggota dengan menawarkan keyakinan-keyakinan tentang kemuliaan. Setiap anggotanya didoktrin untuk melaksanakan keyakinannya tanpa mempertimbangkan norma-norma yang berlaku di luar keyakinannya. Maka pantas jika mereka selalu memiliki relawan-relawan yang mau mengorbankan nyawanya demi tujuan terorisme.
Catatan penting bagi masyarakat adalah siapapun dapat terpengaruh oleh indoktrinasi mereka bahkan tanpa sadar. Sehingga masyarakat harus waspada dengan melakukan pengawasan terhadap anggota keluarga agar tidak terseret ke dalam konspirasi jahat para pelaku teror. Peran masyarakat untuk menghentikan aksi teror di masa-masa yang akan datang adalah dengan membentengi diri dari pengaruh dan indoktrinasi teroris. Meskipun otak atau aktor intelektual terorisme belum tertangkapdan dapat bergerak kemanapun, tetapi jika masyarakat sadar dan mampu mencegah proses rekruitmen relawan, maka apakah yang dapat dilakukan aktor intelektual jika mereka tidak memiliki relawan?

  1. suciptoardi
    Juli 31, 2009 pukul 9:15 am

    tetapi jika masyarakat sadar dan mampu mencegah proses rekruitmen relawan, maka apakah yang dapat dilakukan aktor intelektual jika mereka tidak memiliki relawan?
    —————
    Itu sepertinya tidak akan pernah terjadi selama ummat Islam di Palestina, Iraq, Pakistan, Cechnya, Dagestan, Cina, Indonesia, Filipina, Somalia, Afgan, masih dihajar oleh Amerika atau yang didukung negara Paman Sam…

    • Rahmat Safari
      Juli 31, 2009 pukul 9:36 am

      thanks komentarnya…
      saya hanya kurang sependapat jika relawan dimanfaatkan untuk melakukan tindakan anarkis dan merusak, apalagi di negeri yang damai. Tetapi saya sangat respect terhadap rekruitmen relawan jihad untuk perjuangan pada waktu dan tempat yang tepat.

  2. arismalombok
    Agustus 1, 2009 pukul 9:10 am

    Sesungguhnya kaum muslimin sedang dijauhkan dari agamanya, yakni dengan membuat opini tentang makna jihad. yang pada akhirnya nanti kita akan memandang bahwa jihad identik dengan teroris atau kekerasan. entah ulah siapa di belakang ini semua. atau jangan jangan Nurdin M Top fiktif. kalau tidak kenapa polisi bisa kalah olehnya. hati hati jangan samapai karena ulah segelintir manusia yang tidak bertanggung jawab kita kehilangan agama ( Jihad ).

    Sebenarnya kalau semua kaum muslimin seperti mereka yang tidak takut mati, maka saya yakin amerika dan semua negara negara misionaris tidak akan berani dengan kaum muslimin. tetapi sayang kaum muslimin lebih cinta dunia dari akhirat.

  3. Agustus 24, 2009 pukul 10:51 pm

    Pemerintah seharusnya menanggapi peristiwa ini dengan pendekatan sosial. Tindakan pemerintah selama ini yang menghantam dengan keras pelaku bom, hanya menambah semangat mereka saja.

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke arismalombok Batalkan balasan